Sikap negatif disebut juga prasangka,
walaupun sikap prasangka juga bisa bersifat positif dalam kondisi
tertentu. Dalam pengertian ini, sikap prasangka lebih cendrung ke arah
negatif karena pengaruh dari faktor lingkungan, sikap dan ego yang
tinggi, serta mudah terprovokasi dengan orang lain tanpa ada bukti yang
jelas, dan hanya bisa berprasangka dengan orang lain. Seseorang yang
mempunyai prasangka rasial, biasanya bertindak diskriminasi terhadap ras
yang diprasangkainya, akan tetapi seseorang bertindak diskriminatif
tanpa berlatar belakang pada suatu prasangka.
Sikap berprasangka jelas tidak adil, karena sikap yang diambil hanya berdasarkan pada pengalaman atau apa yang didengar. Apabila muncul sikap berprasangka dan diskriminatif terhadap kelompok sosial lain, maka akan
terjaadi pertenangan sosial yang lebih luas yang akan berdampak buruk
bagi lingkungan sekitar dan kerugian yang cukup besar dalam berbagai
aspek.
2. Sebab Timbulnya Prasangka dan Diskriminasi
a) Latar belakang sejarah
Orang kulit putih di Amerika Serikat berprasangka negatif terhadap
orang negro. Orang kulit putih beranggapan bahwa orang negro adalah
budak dan orang berkulit putih adalah Tuan rajanya. Contoh lainnya
adalah orang negro suka memprovokasi dan suka berbuat onar dalam
berbagai aspek kehidupan.
b) Perkembangan sosio, kultural, dan situasional
Sifat
prasangka akan muncul dan berkembang apabila terjadi kesenjangan sosial
kepada masyarakt sekitar. Contohnya ialah terjadinya Putus Hubungan
Kerja (PHK) oleh pimpinan perusahaan terhadap karyawannya. Contoh yang
sering kita lihat adalah terjadinya korupsi di jajaran pemerintahan yang
membuat rakyatnya menderita dan masyarat hanya bisa berdemonstrasi di
tengah jalan, yang hanya membuat kemacetan dijalan.
c) Bersumber dari faktor kepribadian
Keadaan
frustasi dari orang ataupun kelompok sosial tertentu dapat menimbulkan
tingkah laku yang cukup agresif. Tipe prasangka lebih dominan disebabkan
karena sikap orang itu tersendiri. Contohnya saja tipe authorian personality yang memiliki sifat konservatif dan bersifat tertutup kepada khalayak umum dan suka menyendiri.
d) Perbedaan keyakinan, kepercayaan dan agama
Prasangka
diatas dapat dikatakan sebagai suatu prasangka yang bersifat universal.
Contoh dari kejadian ini misalkan konflik Irlandia Utara – Irlandia
Selandia, perang Vietnam, perang Iran dan Irak, perang Palestina dengan
Israel. dan lain-lain.
3. Cara Untuk Mengurangi/Menghilangkan Prasangka dan Diskriminasi
a. Perbaikan kondisi sosial ekonomi
Pemerataan
pembangunan dan membuka lapangan pekerjaan merupakan cara cukup baik
mengurangi angka kemiskinan dan kesenjangan sosial antara masyarakat
menengah kebawah dengan menengah keatas. Pemerintah sudah melakukan
berbagai macam cara, misalnya saja program Kredit Candak Culak (KCK),
Bantuan Langsung Tunai (BLT), Kredit Modal Kerja permanen, Kredit Usaha
Rakyat (KUR), dan lain-lain. Dengan begitu, rasa prasangka ketidakadilan
dalam sektor perekonomian antara kelompok ekonomi lemah dengan kelompok
ekonomi lemah akan menjadi berkurang dan jauh dari konflik, serta
tercipnya suatu kedamaian.
b. Perluasan kesempatan belajar
Usaha
pemerintah untuk melakukan pemerataan kesejahteraan dalam bidang
pendidikan sudah dilakukan, misalnya saja dana APBN yang sudah mencapai
20% untuk dunia pendidikan, Wajib Belajar (WAJAR) selama 9 tahun, serta
program BOS (Biaya Operasional Sekolah). Namun dengan cara itu semua,
pendidikan di Indonesia masih jauh dari harapan, misalnya saja kurang
efektifnya program Ujian Nasional (UN) yan tidak adil. Para siswa/siswi
yang sudah belajar selama 3 tahun harus ditentukan selama 3 hari.
Seharusnya yang berhak untuk menentukan itu semua adalah para guru yang
mengajar siswa/i nya, karena para guru lebih tahu karakteristik seorang
siswa/I tersebut.
4. Etnosentrisme
Setiap
suku bangsa atau ras tertentu memiliki ciri khas kebudayaan yang
berbeda dan sekaligus menjadi kebanggaan mereka. Suku bangsa ras
tersebut cendrung menganggap kebudayaan mereka sebagai
salah satu prima, riil, logis, sesuai dengan kodrat alam dan sebagainya.
Segala yang berbeda dengan kebudayaan yang mereka miliki, dipandang
sebagai, dipandang sebagai suatu yang kurang baik, kurang
estetis, dan bertentang dengan kodratnya. Hal tersebut dikenal sebagai
Etnosentrisme, yaitu suatu kecendrungan yang menganggap nilai dan norma
kebudayaan sendiri sebagai suatu yang prima, terbaik, mutlak, dan
dipergunakannya sebagai tolak ukur untuk menilai dan membedakannya
dengan kebudayaan lain.
Etnosentirisme
merupakan gejala sosial yang universal, dan sikap yang demikian
biasanya dilakukan secara tidak sadar, dengan kata lain kecendrungan
tidak sadar untuk menginterpresntasikan atau menilai kelompok lain
dengan tolak ukur kebudayaannya sendiri. Etnosentrisme dapat dianggap
sebagai dasar ideologi Chauvinisme yang pernah dianut oleh orang Jerman pada zaman Nazi Hitler. Mereka merasa dirinya superior , lebih ungguk dari bangsa-bangsa lain dan memandang bangsa lain sebagai inferior, lebih rendah, nista, dan sebagainya.